Segelas Kopi yang Tak Dinikmati


pixabay.com


“Kopi itu hipnoterapi bagi segelintir jiwa yang kadang berapi-api. Emosi atau bahkan depresi dalam diri manusia, seketikan akan pergi diusir oleh ampas-ampas kasar minuman hitam lagi pahit itu.” _Rahmat Balaroa

Begitu banyak quote yang berkisah tentang kopi, begitu banyak puisi yang tiap-tiap baitnya beraroma kopi, dan begitu banyak penelitian yang mengungkap keajaiban biji familiar itu, tanpa terkecuali tongkrongan. 

Di tongkrongan , sebutlah angkringan, minuman berwarna dasar hitam itu menjadi primadona, bahkan disebut-sebut sebagai sumber inspirasi, “Lebih baik tidak mencium aroma mu, kasih, daripada tidak mencium eksotiknya aroma kopi bintang Bu Tatik.” Begitulah quote legend dari penguasa warkop pinggir jalan. 

Di sudut sana, berkisah lah seorang pria kacamata berambut pendek dan sedikit keriting, dengan penuh kesadaran dan kejujuran, Nampak jelas dari mukanya yang polos itu, bahwa betapa buruknya kopi itu, “sakit perut, kembung, kentut-kentut, susah tidur dan banyak lagi, pokoknya gak deh, kalau soal kopi,” begitu katanya. 

Ada benarnya juga, Ketika kemudian kopi itu dikonsumsi secara berlebihan, dan ada kelirunya juga, Ketika si Pria keriting itu menggeneralisasi aktivitas perkopian seperti itu. Sebab tak semua aktivitas minum kopi akan berdampak seperti itu. 

Bahkan, makin cinta seseorang terhadap kopi, maka makin berhati-hati dia dalam mengonsumsi kopi, sebab pemahaman kopinya sudah pada tataran yang menganggap kopi sebagai penenang, bahkan sebagai obat. 

Di lingkaran dekat kursi Bu Tatik, dengan sedikit kesal pria berbaju biru doraemon mengeluarkan unek-uneknya namun terlihat seperti sedang berorasi kampanye pilkada, lantang. 

Dia bilang kalua bukan karena ceweknya, dia gak mau minum kopi, “Ya, Gua hanya ingin terlihat keren aja ngopi bareng cewek Gua, tapi aslinya, nih lambung berontak, mungkin ngatain gua gak ada otak,” begitu ucapnya ke teman-temannya tentang kopi, hanya mau terlihat keren aja.

Ini masalah sih, melakukan hal yang sebenarnya tak diinginkan, demi reputasi, gelar pria keren, ya, gas, meski katanya lambung berontak. Memang terkadang kalua sudah dihadapkan dengan persoalan lawan jenis, tidak bisa dipungkiri, ya, delapan dari sepuluh pria rela melakukan apapun demi mendapat pengakuan keren.

Untuk menjadi keren itu sebenarnya tak perlu menuntut pengakuan, biarlah pengakuan itu hadir secara sadar dari orang yang melihat tanpa harus dipkasa dengan cara apapun itu

Keren itu, Ketika kita nyaman dengan dunia sendiri, berjalanan dengan dunia sendiri, bahkan mungkin beda dengan dunia orang lain, itu barus keren. Kata keren tidak hadir sebab kata “karena”. Berbeda dengan pengakuan, pengakuan itu hadir sebab kata “Karena”.


Tulisan Ngawur dari Simpatisan Kopi, yang ditulis sambil mendengarkan lagu-lagu indie ditambah dengan menghafal Qoute Mahatma Gandhi


Post a Comment

0 Comments