![]() |
gambar, pixabay.com |
Di Indonesia
nampaknya agak sedikit berhati-hati dengan kata yang sudah dibumbuhi dengan
isme. Tahun 2005, melalui surat keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, tiga
isme yaitu, pluralisme, liberalisme, dan sekularisme resmi diharamkan untuk
diikuti. tentu penulis kira keputusan tersebut lahir dari sebuah kegelisahan
akan paham-paham yang bisa menggeserkan akidah.
Namun, ibarat
menutup botol dengan penutup gelas, secara definitif dianggap kabur. fatwa ini
menuai banyak kritikan, bahkan sampai dikatakan fatwa ini adalah proses
pembatasan berpikir dan dan berkeyakinan masyarakat Indonesia.
salah satu poin
yang disampaikan MUI dalam surat keputusan tahun 2005 tersebut adalah
Liberalisme agama merupakan proses memahami nash-nash Agama dengan menggunakan
akal pikiran yang bebas dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai
dengan akal pikiran semata.
Budhy MunawarRachman dalam bukunya Reorientasi Pembaruan Islam, Sekularisme, Liberalisme,
dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, Mengutip Buya Syafii Maarif yang
mengatakan bahwa tidak ada kekebasan tanpa batas kecuali kalau kita menghendaki
anarkisme.
Sejalan dengan
itu, Dawam Raharjo mengatakan seringkali liberalisme ini disalahartikan. Diartikan
sebagai paham yang bebas tanpa batas dan tanpa tanggung jawab. Hal ini yang
kemudian membawa orang-orang pada tindak anarkisme atas nama liberalisme.
Baca Juga : Dua Kerajaan Hindu Tertua di Pulau Jawa
Liberalisme dan
anarkisme adalah dua hal yang berbeda. Liberalisme menghendaki kebebasan dan
berorientasi pada hukum, semengtara anarkisme adalah tindakan bebas tanpa
kontrol. Barangkali perlu dilihat lagi bahwa liberalisme bukan dan tidak
memberikan pujaan terhadap nalar ataupun mendiskreditkan keberadaan agama yang
di dalamnya terdapat kebenaran yang bersifat absolute yang melampaui pemikiran
manusia.
Islam dan
Liberalisme
Sejauh ini saya
kira Islam sejalan dengan Liberalisme dalam artian kebebasan berpikir,
berprndapat dan berkeyakinan. Bukankah banyaknya aliran dalam Islam disebabkan
oleh cara pandang terhadap Agama yang berbeda-beda?.
Perihal menafsirkan
Al-Qur’an, bukankah sebelum para sarjana muslim belajar ke barat sudah terjajdi
multitafsir terhadap Al-Qur’an?. Imam-imam mazhab, yang dalam perjalanan intelektualitasnya sama sekali tidak
menyentuh barat, tapi perbedaan yang terjadi diantara mereka masih
sangat-sangat dianggap lazim tanpa merendahkan dan menyalahkan satu sama lain.
Baca Juga : Murtadha Muthahhari, Islam dan Feminisme
Sejauh ini,
menjalankan Agama dengan paham liberal saya kira sangat perlu bahkan penting untuk
membentengi Agama dan orang-orang yang beragama pada jurang ekstrimisme. Banyak
pemuka-pemuka agama yang dalam ceramah-ceramahnya menggiring pada umat Islampada praktek kekerasan bahkan anarkisme berdalih Agama. Di situlah peran
liberalisme untuk mengkritisi doktrin-doktrin Agama.
Liberalisme dalam
Agama adalah mempertanyakan dan mengkritisi doktrin-doktrin Agama. Dalam artian,
orang yang beragama tidak menerima begitu saja apa yang disampaikan manusia
tentang agama, melainkan mempertanyakan apakah interpretasi agama yang dibawa
oleh manusia itu betul-betul sejalan apa yang Tuhan kehendaki.
Namun sekali lagi, perlu diperhatikan bahwa, dalam beragama, selain otoritas akal, wahyu berperan penting dalam mewujudkan Islam yang tidak semena-mena, dalam pandangan Buya Syafii, Al-Qur’an sebagai moralitas dan etika. Kebebasan manusia dibatasi oleh moralitas Al-qur’an yang sangat maju.
Jangan lupa tinggalkan pesan anda
0 Comments