Rahmat Balaroa (Lelaki kudet yang baru saja menjajaki dunia luar)
Jam menunjukkan pukul 06.55 WITA. Langit masih kelabu, dan kabut tipis menyelimuti Jembatan Palu IV. Dari kejauhan, klakson menggema di Simpang Lima Tatura. Seperti biasa, Ganareke sudah berada di pangkalan ojek online dekat taman.
“Pagi ini rame sekali eee, Gan?” tanya Bilo, penjual nasi kuning yang kiosnya terhalang deretan mobil parkir tak beraturan.
“Ya, begitu sudah di Palu. Orang-orang di Palu itu buru-buru, tapi masih lebih suka nae mobil sendiri. Akhirnya macet begini," Ganareke menyeringai sambil memeriksa aplikasinya. Belum ada pesanan.
Ia melirik halte bus Trans Palu di seberang jalan, sepi. Sebuah bus lewat, tetapi hanya ada dua penumpang di dalamnya. "Hanya waktu gratis saja tempat ini ramai; sekarang tarifnya Rp5.000, penumpangnya so te tau kemana. Katanya Palu kota pintar, tapi orangnya tidak pintar soal transportasi," gumamnya.
Di dalam bus itu ada Dei Vuri, seorang guru honorer dari Lasoani. Ia naik bus Trans Palu di koridor 3 menuju sekolah tempatnya mengajar di Palupi.
Setiap hari, ia berjalan kaki 700 meter ke halte bus karena jarak yang "seharusnya lebih pendek" itu masih terasa jauh. Hari itu, ia mendapati halte bus dalam kondisi rusak. Atapnya bocor, satu kursi rusak, dan tidak ada papan informasi atau jadwal.
Ia pun naik bus, berharap tiba sebelum bel berbunyi.
"Bu, kalau mau ke Palupi, harus transit dulu di Tatura," kata seorang pramugari muda sambil mengaktifkan pemindai QRIS. Dei mengangguk lesu. "Kenapa saya tidak bisa langsung saja? Kenapa harus transit?" keluhnya dalam hati.
Ia merasa seperti warga kelas dua. Tak ada yang mendengarkan keluhan para penumpang. Sementara itu, di depan kantor Wali Kota, sebuah SUV mewah tiba-tiba berhenti di trotoar.
Baca juga : Teriak di Penghujung Magrib
Seorang pemuda keluar sambil memegang ponsel dan masuk ke dalam gedung tanpa mematuhi rambu larangan parkir. Petugas transportasi hanya menatap. Terlalu malu untuk campur tangan.
Mungkin karena plat kendaraannya dimulai dengan "DN 1..." dan bukan warga biasa. Parkir liar seperti itu terjadi setiap hari. Jalan-jalan dari Diponegoro, Monginsidi, hingga Veteran dipenuhi kendaraan yang berlaku semaunya.
Kamala, seorang mahasiswa baru dari luar kota, hanya bisa menggelengkan kepala. "Palu memang kecil, tapi ternyata ego warganya luar biasa besar. Mereka bahkan mengklaim trotoar," ujarnya sambil menghindari sepeda motor yang terparkir di trotoar.
Sore harinya, Ganareke berjalan kaki menyusuri Jalan Basuki Rahmat. Dalam perjalanan pulang, Ia melewati proyek pelebaran jalan yang masih belum rampung. Debu beterbangan, polisi tidur berserakan, dan tiang-tiang reklame dibiarkan roboh dan menumpuk.
"Kota ini memang bisa membawa bencana," renungnya. "Setiap hari, sesak oleh asap sepeda motor, klakson mobil, dan janji-janji politik." Beberapa hari yang lalu, ia mendengar Wali Kota berbicara di radio tentang "rencana transportasi terpadu". Namun kenyataannya, Trans Palu kosong, minibus hampir punah, dan ojek daring penuh sesak.
"Yang terintegrasi itu kemacetan. Di mana-mana saya pergi, saya malah ketemu macet terus," gumamnya sambil tertawa karir.
Sebuah percakapan singkat terjadi di lampu merah Simpang Lima. Sebuah mobil berhenti di samping sebuah sepeda motor tua. "Pak, ini jalan satu arah, kenapa Bapak putar balik?" tanya pengendara motor itu, seorang remaja berseragam SMA.
Baca juga : Demokrasi di Persimpangan Makna
"Ah, So biasa begitu, Nak. Kadang polisi juga putar balik ke sini," jawab pria itu sambil tertawa. Remaj aitu menggeleng. "Kalau semua orang terus bilang 'biasa saja', Palu tidak akan pernah jadi kota maju."
Lampu lalu lintas berubah dari merah menjadi hijau. Namun, kata-kata itu masih terngiang di udara, bagai teguran tak terucap. Akhirnya, Dei Vuri, guru honorer, menuliskan sebuah catatan sederhana di buku catatannya:
Kepada Yth. Wali Kota Palu. Saya hanya ingin bisa berangkat kerja tepat waktu, tanpa harus berjalan jauh ke halte bus, dan tanpa repot berganti koridor. Kami warga biasa, namun kami juga manusia yang berhak mendapatkan akses yang layak di kota ini. Mohon jangan bangun jembatan dulu kalau busnya masih sepi.
Palu memang berbeda dengan Jakarta. Namun, kemacetan tetap saja parah, bukan karena panjang antrean kendaraan, melainkan karena minimnya perhatian.
Kemacetan lalu lintas di Palu bukan hanya soal mobil yang menumpuk; melainkan pola pikir yang resisten terhadap perubahan. Pola pikir "asal bisa berfungsi," "asal cepat," "asal individual."
Bus mungkin dibangun, halte mungkin dicat, tetapi jika pola pikir masyarakat tetap sempit, kota ini akan tetap macet.
Ganareke menarik napas dalam-dalam saat menyeberangi jembatan malam itu. Kota Palu terbentang di bawahnya, indah namun kacau. Sama seperti dirinya, seperti kita semua, masih mencari jalan pulang tanpa macet, tanpa kebisingan, tanpa ego.
0 Comments